(Benyamin Seran, SH, Anggota Tim Kuasa Hukum SN-KT)
TIMORDAILY.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang sengketa hasil Pilkada 2020 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan pada hari ini, Selasa (26/1/2021).
Dalam sidang kemarin, MK menyidangkan 35 permohonan sengketa hasil pilkada yang terbagi menjadi tiga panel.
Agenda sidangnya yang berkaitan dengan pemeriksaan kelengkapan dan materi kejelasan dan bukti pemohon, serta penyampaian hasil sebagai pihak yang terkait.
“Sidang pendahuluan itu, bukan untuk melakukan perbaikan atau perubahan permohonan pemohon, seperti Yang kita lihat melalui live streaming pada Selasa, 26 Januari 2021 kemarin,” jelas Benyamin Seran salah satu Tim Kuasa Hukum SNKT.
Menurut Benyamin, berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Sebuah diatur dalam Bab III Pasal 6, dimana persidangan pada hari Selasa, 26/01/2021 kemarin telah memasuki ke-9 dari 14 tahapan yang diatur dalam PMK No. 6/2020.
“Sejatinya MK telah menyediakan ruang dan kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan tahapan yang ke-3 dari 14 tahapan yang telah diatur di dalam PMK No. 6/2020,” kata Benyamin
Dalam perkara dengan register nomor 24 / PHP.BUP-XIX / 2021 tanggal 18 Januari 2021, Pemohon SBS WT telah menggunakan ruang untuk perbaikan permohonan tersebut, hal itu dengan melakukan perbaikan yang telah diregister pada hari Selasa, tanggal 22 Desember 2020.
“Hasil dari permohonan itu disampaikan kepada Termohon dan pihak yang terkait termasuk yang dipegang oleh Hakim Arief Hidayat pada saat berlangsungnya sidang pemeriksaan pendahuluan kemarin,” ungkap Bemyamin
Akan tetapi menurut Benyamin, pihak Kuasa Hukum Pemohon lagi-lagi melakukan perbaikan atau perubahan Permohonan dari Pemohon perbaikan atau dirubah pada dalil posita atau petitumnya justru dilakukan pada saat persidangan pendahuluan berlangsung yang notabene telah masuk ke dalam tahapan ke-9.
“Ini jelas sebuah pelanggaran dan telah melenceng dari Tahapan Penanganan Perkara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang telah ditetapkan melalui PMK No. 6 Tahun 2020, sehingga perbaikan / perubahan tersebut kami anggap tidak sah dan cacat formil,” tegas Benyamin.
Benyamin menjelaskan, stage yang diatur dalam Bab III Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang terdiri atas 14 (empat belas).
Sementara kata Benyamin, yang kita saksikan melalui tayangan live streaming dari ruang persidangan Mahkamah Konstitusi, terlihat sangat jelas.
“Hakim Arief Hidayat mempertanyakan mengapa dokumen pemohon hasil perubahan yang sedang dipegang oleh Hakim yang juga telah mendaftar pada tanggal 22 Desember 2020 berbeda dengan permohonan pemohon yang dibacakan oleh Kuasa Hukum Pemohon,” ucap Benyamin.
Sementara pada tahapan pemeriksaan pendahuluan bukan lagi untuk melakukan pernaikan / perubahan, dalil dan posita terkecuali pembetulan salah ketik (mistyping) yang dikenal dengan istilah “typo”.
Misalnya ada salah ketik nama orang seperti contoh diketik Benyamin Serang, padahal yang benarnya adalah Benyamin Seran tanpa huruf g, diperbolehkan dilakukan pencoretan dua garis datar pada huruf g.
Atau misalnya kata “perubahan” diketik salah menjadi “perubahan”, maka dilakukan typo menjadi “perubahan”.
Bukan malah mengubah / menambah dalil dan posita permohonan seperti yang terjadi pada sidang hari Selasa kemarin.
“Ini sangat fatal karena perubahan tersebut tidak sah dan cacat hukum sehingga mengakibatkan permohonan permohonan cacat formil sehingga patut dinyatakan tidak dapat diterima,” tegas Benyamin
Lanjut Benyamin, bagaimana cara penanganan perkara yang telah ditetapkan melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2020 dilanggar secara vulgar seperti yang kita saksikan dalam tayangan langsung, selasa kemarin.
Bukankah setelah permohonan didaftarkan oleh pemohon ke Mahkamah Konstitusi, pemohon telah diberikan ruang dan kesempatan untuk memperbaiki permohonan? dan itu sudah dilakukan, karena telah berkembang kemudian MK melakukan pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permohonan yang menerbitkan hasil pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permonan pemohon kemudian dilakukan pencatatan permohonan pemohon dalam BRPK hingga sampailah pada tahapan yang ke-9 saat Pemeriksaan Pendahuluan.
“Jika, tahapan yang ke-9 justru dilakukan perbaikan permohonan yang harusnya dilakukan pada tahapan yang ke-3, ini namanya Hukum Acara suka hati, bukan Hukum Acara Persidangan di MK,” canda, Benyamin yang akrab disapa Eland Seran Jr.
Mewakili pihaknya, ia meminta hormat dengan Yang Mulia Hakim MK dalam keterangan pihak yang terkait khususnya pada bagian eksepsi agar Permohonan Pemohon yang dibacakan di hadapan sidang pemeriksaan pendahuluan tidak sah dan cacat formil, sehingga dinyatakan dinyatakan niet ontvankelijke verklaard atau tidak dapat diterima. (VIA / TIMOR DAILY / TIMORDAILY.COM)
Editor; Oktavian SUB