Kasus Slamet Jumiarto di Yogyakarta Adalah Kejahatan HAM, Tak Cukup Hanya Batalkan SK

“SELAIN PEMBATALAN SK. NOMOR : 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015, TENTANG PERSYARATAN PENDATANG BARU DI DUSUN KARET, JUGA LANGKAH PEMIDANAAN ATAS KEJAHATAN SARA”

Oleh : PETRUS SELESTINUS, KOORDINATOR TPDI & ADVOKAT PERADI

TIMORDAILY.COM, JAKARTA – Slamet Jumiarto dan keluarganya adalah korban tindakan diskriminatif atas dasar SARA (non-Muslim), yang dilakukan secara kolektif oleh perangkat Rukun Tetangga (RT) 8 dan warga Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, hanya karena Slamet Jumiarto dan Kelarganya adalah warga negara Indonesia yang non-Muslim yang hendak berdomisili di Dusun Karet, Desa Pleret.

Meskipun akhirnya Slamet Jumiarto dan keluarga diperbolehkan tinggal di dusun tersebut, namun Slamet Jumiarto dan Keluarganya memilih tinggalkan Dusun Karet asal SK.

Diskriminatif itu dibatalkan dan uang kontrak rumah yang sudah terlanjur dibayar dikembalikan.

Sikap perangkat RT dan Warga Dusun Karet, Desa Pleret tersebut sudah dapat dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Sara, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 40 Tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Negara kita adalah negara hukum dan Hukum Positif kita sudah menetapkan dan mengatur syarat-syarat dan lembaga mana saja yang boleh mengatur perihal hak-hak dan kewajiban seseorang sebagai warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama hal-hal yang berkaitan dengan HAM dan Hak-Hak dasar warga negara sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.

Artinya tidak setiap orang boleh seenaknya membuat aturan yang bertentangan dengan hukum positif.

Oleh karena itu apabila ada warga negara yang melakukan tindakan sewenang-wenang bahkan berbuat sara, maka aparat penegak hukum harus bertindak tegas dan konsisten, sehingga manakala ada peraturan yang memuat eksklusi sosial atas non-muslim sebagaimana yang dialami oleh Slamet Jumiarto dan Keluarganya di dusun Karet, Desa Pleret melalui Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet, maka penindakannya tidak cukup hanya dengan mencabut berlakunya SK diskriminatif dimaksud lantas kita semua berpuas diri, melainkan harus ada penindakan dari aspek kejahatan HAM dan hukum Pidana.

“Mengapa, karena tindakan aparatur RT, berikut sebagian Warga Dusun Karet tersebut sudah melanggar UU No. 40 Tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.”

Negara harus hadir dalam persoalan Slamet Jumiarto dan keluarganya, karena apa yang dialami oleh Slamet Jumiarto dan keluarganya, merupakan kasus-kasus SARA yang sering menimpa kelompok minoritas di berbagai tempat dalam berbagai bentuk seperti melarang pembangunan rumah ibadah, rumah ibadah disegel warga atas dasar bukan seagama dll., namun tidak ada penindakan oleh aparat penegak hukum.

Inilah yang dinamakan diskrimnasi secara berlanjut hingga kepada sikap aparatur negara penegak hukum.

Padahal negara wajib melindungi segenap warga negaranya dan seluruh tumpah darahnya dari Sabang sampai Marauke, tanpa kecuali.

Meskipun pihak RT dan warga setempat sudah membatalkan SK diskrimintaif tersebut, namun secara hukum SK tersebut sudah batal demi hukum atau harus dianggap tidak pernah ada sebelumnya, karena substansi muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Di sini persoalan yang sesungguhnya adalah sudah berkembang bibit-bibit perilaku intoleran di kalangan sebagian warga masyarakat, karenanya perlu ada langkah penindakan secara tegas.

Dengan demikian harus ada kebijakan berupa proses pemidanaaan terhadap para pembuat SK diskriminatif itu dan mereka yang bertindak aktif melarang bahkan menolak Slamet Jumirto dan Keluarganya untuk tidak tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret hanya karena Salmet Jumirto dan keluarganya non-Muslim.

Tindakan mereka sudah memenuhi unsur Kejahatan Sara, karena telah bertindak membedakan, membatasi bahkan meniadakan hak-hak konstitusionalitas Slamet Jumiarto dan keluarganya, hanya karena tidak seagama dengan pihak pembuat SK atau seagama dengan Warga Dusun Karet, Desa Pleret tersebut, sikap seperti ini sangat berbahaya karena sudah muncul di tengah masyarakat pedesaan yang cepat atau lambat merupakan ancaman bagi NKRI, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 1945 di tengah-tengah menguatnya gerakan radikalisme, intoleransi dan terorisme.

Kita patut mengapresiasi setinggi-tingginya langkah Bupati Kabupaten Bantul, Suharsono, yang langsung meminta aturan yang secara nyata mendiskriminasikan pihak lain karena perbedaan agama (non muslim) di Dusun Karet tersebut dicabut, akan tetapi kita tetap menunggu sikap tegas aparat Penegak Hukum, Cq. Polda Yogyakarta untuk menindak pembuat SK diskriminatif dan memberlakukan terhadap siapapun warga non muslim disana.

Ini adalah embrio radikalisme yang sangat berbahaya dan membahayakan persatuan dan kesatuan kita dalam NKRI, karena sendi-sendi Bhineka Tunggal Ika yang merupakan salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terancam eksistensinya.

Sikap yang toleran terhadap sesama harus dipupuk terus dan tidak cukup hanya dengan membatalkan SK diskriminatif itu.

Masyarakat Dusun Karet, Desa Pleret harus dibangun kembali kesadarannya bertoleransi sebagai bagian dari memupuk sikap hidup bertentangga secara damai dan toleran yang selama ini berangsur-angsur hilang seiring dengan menguatnya Radikalisme dan Intoleransi yang jelas merupakan ancaman serius terhadap jati diri bangsa Indonesia yang majemuk tetapi bersatu dalam NKRI.

Bupati Bantul Suarsono telah menunjukkan kepemimpinan yang kuat yaitu membangun dan mempertahankan sikap toleransi bagi sesama, terbukti dengan mengecam dan meminta dibatalkannya SK diskriminatif tersebut.

Namun untuk memulihkan dan membangun kembali sikap toleransi yang sudah hilang di sebagian warga di Dusun Karet, Desa Pleret, memerlukan waktu dan salah satu cara yang efektif adalah dengan menegakan hukum secara pidana.

Hal ini tentu saja untuk mencegah menjalarnya perilaku intoleran di sejumlah tempat lain di Indonesia sebagai sikap belas dendam oleh warga lain di daerah lain terhadap warga masyarakat yang tidak seagama, sehingga potensi terjadinya konflik horizontal harus dicegah.

Untuk itu TPDI mendesak Kapolri dan Kapolda Yogyakarta untuk bertindak tegas melalui pendekatan hukum pidana yaitu menerapkan ketentuan UU No. 40 Tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang ancaman pidananya maksimum 5 tahun penjara, supaya ini menjadi pendidikan politik dan hukum bagi warga masyarakat yang bersikap intoleran terhadap sesama.

Sikap-sikap intoleran ini sering dialami oleh kelompok warga masyarakat minoritas di negeri ini, namun tidak ada penindakan, sehingga publik lantas menilai bahwa aparatur negara belum mampu melindungi warga negara yang minoritas dari perlakuan diskriminatif, padahal UU sebagai hukum positif yang dilahirkan oleh Pemerintah dan DPR dengan biaya tinggi namun hanya dijadikan barang mewah di etalase untuk sekedar di lihat tetapi tidak diterapkan secara konsekwen.

Kasus penolakan Camat Tajangan oleh warga karena yang bersangkutan non-Muslim dan kasus penolakan beberapa Lurah yang diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta beberapa tahun lalu karena non Muslim, juga tidak ada penindakan sehingga diksriminasi itu terjadi terus menerus hingga saat ini. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *