TIMORDAILYNEWS.COM – Viralnya seorang bayi asal Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang meninggal dunia di RSUD MGR Gabriel Manek Atambua akhirnya direspon oleh pihak manajemen rumah sakit.
Manajemen RSUD MGR. Gabriel Manek membantah narasi-narasi miring dan hoaks di media sosial yang mengatakan kematian bayi tersebut karena mengalami kekerasan fisik saat menjalani perawatan yang ditandai dengan memarnya jidat bayi dan adanya darah yang mengalir keluar dari hidungnya.
Menurut pihak RSUD Atambua, bayi malang tersebut didiagnosis mengalami gagal pernapasan dan akhirnya meninggal dunia pada tanggal 4 Juli 2024.
BACA JUGA : Warga Belu Berobat Gratis Pakai KTP Tanggal 1 Agustus, Theo Manek; Itu Kado Istimewa Bupati dan Wabup
Direktur RSUD MGR. Gabriel Manek Atambua, dr. Theodorus L. Mau Bere dalam keterangannya kepada wartawan di kantornya, Sabtu (6/7/2024) menyampaikan ucapan turut berdukacita atas meninggalnya bayi tersebut sekaligus menjelaskan kronologis lengkap serta mengklarifikasi informasi liar yang beredar.
Bahwa bayi yang meninggal tersebut merupakan anak kedua dari ibu PNK asal Kabupaten TTU. Ibu PNK yang juga merupakan seorang tenaga medis ini dirujuk dari RSUD Kefamenanu Kabupaten TTU pada tanggal 1 Juli 2024 siang.
Dia dirujuk karena hendak melahirkan anak kedua namun tidak bisa melahirkan secara normal karena posisi bayi sungsang sehingga harus menjalani operasi caesar. Sementara itu, pada kehamilan pertama, ibu PNK sudah melahirkan secara caesar.
BACA JUGA : Pemkab Belu Era Kepemimpinan AT-AHS Terbaik di Mata KPK RI, Pengobatan Gratis Diapresiasi
“Ibu PNK ini dirujuk dari RSUD Kefamenanu tanggal 1 juli 2024 siang dan dengan diagnosa hamil anak kedua dan dirujuk karena bekas operasi. Anak pertama operasi, anak keduanya juga operasi dengan letak bayi sungsang sehingga menyulitkan untuk melahirkan secara normal. Sehingga dirujuk ke RSUD Atambua.
Setelah diterima, hari itu juga dilakukan operasi dari dokter kandungan kita dan lahir bayi yang meninggal ini seberat 2.700 gram dengan Apgar scorenya 8-9 (normal dan tanda bayi baru lahir dalam keadaan sehat, red).
Selanjutnya dilakukan perawatan bayi dan dirawat gabung dengan ibunya pada hari itu juga,” jelas dr. Theo yang saat itu didampingi Dokter Spesialis Anak, dr. Joanita A. Widodo, Sp.A, Kabid Pelayanan RSUD MGR Gabriel Manek, dr. Meirinawati Gunawan, Kepala Tata Usaha, Maria G. Mali dan Kepala Ruangan Perina (Bayi): Regina Soares, DC. Ximenes.
Dokter spesialis anak yang menangani bayi tersebut yakni dr. Joanita A. Widodo, Sp.A pada kesempatan itu menjelaskan bahwa ibu PNK menjalani operasi caesar pada tanggal 1 Juli dan bayinya mereka terima dalam kondisi baik pada awalnya, namun kondisinya dilaporkan memburuk lantaran mengalami demam dan tidak mau menyusu pada ibunya.
“Bayi ini kami terima dengan lahir secara SC (operasi caesar) pada tanggal 1 Juli 2024 pukul 14.14 WITA, langsung menangis, kita nilai Apgar Scorenya 8-9, ketubannya itu mekonial. Karena ketubannya begitu, kami curiga ada infeksi sehingga kami lakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasilnya yang masih normal, gula darahnya 127,” jelas dr. Joanita.
“Anaknya kami kasih antibiotik oral, minum bagus, perawatannya bagus. Keesokan harinya (tanggal 2 Juli 2024, red) perawatannya kami gabung ke ibunya. Jadi pindah dari ruang bayi ke perawatan bersama ibunya. Satu hari full bersama ibunya, pas siang harinya, saya dilaporkan bahwa bayinya demam, tidak mau menetek dan sesak nafas. Jadi bayinya kembali ke UGD PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif) untuk ditangani. Jadi pas masuk itu dia dengan kondisi demam, sesak dan tidak mau menetek,” sambungnya.
Melihat kondisi bayi tersebut, kata dr. Joanita, pihaknya mengambil sampel darahnya untuk diperiksa lagi ke laboratorium.
“Didapatkan gula darahnya yang meningkat. Nah gula darah meningkat ini biasanya karena stress metabolik, kita curigai infeksi. Jadi kami lakukan perawatan kembali di ruang bayi, di level tiga yakni Intensif untuk bayi-bayi yang kondisinya tidak bagus.
Di situ, kita berikan oksigen Nasal Kanul. Dalam perjalanan waktu, observasi ternyata sesaknya tidak membaik jadi kami ganti dengan oksigen CPAP (continuous positive airway pressure),” jelas dr. Joanita.
Tindakan Oksigen CPAP ini, jelas dr. Joanita, bertujuan memberi tekanan pada bayi untuk membuka jalan nafas, untuk mengurangi usaha napas, untuk retraksi.
Adapun cara pemasangannya, lanjut dr. Joanita, selang oksigennya harus masuk ke dalam rongga hidung baru difiksasi di kepala.
“Jadi kita pakaikan alat ini, kita pakaikan topi baru beralaskan fiksasi kepalanya ini. Ini juga untuk menjawab mengapa ada memar di kepala seperti yang beredar di medsos. Bahwa ada lebam di testa bayi. Itu karena lecet dari alat oksigen yang dipakai,” jelasnya.
Setelah tindakan tersebut, lanjutnya, pada siang harinya dirinya mendapat laporan bahwa tubuh bayinya mulai kaku.
“Jadi saya di ruang operasi datang melihat ternyata ada kedua orangtuanya di ruang bayi sedang berdoa. Saya tunggu. Selesai mereka berdoa, saya edukasi bahwa kondisinya tidak bagus. Saya mau melakukan tindakan memberikan oksigen di atas dari tindakan ini, jadi kami mau ganti ke ventilator.
Dijelaskan ke orang tua, orang tua hanya diam. Saya masih bertanya apakah ada yang masih mau ditanyakan, mereka hanya geleng. Jadi saya mengganggap, ibunya background bidan. Jadi saya pikir orangnya lebih mengerti kalau kita jelaskan.
Jadi sudah, setelah itu saya bilang silakan tunggu, saya mau lakukan tindakan. Ternyata pas waktu intubasi, sudah ada pembekuan darah di rongga hidung. Itu mungkin yang bisa menjawab kenapa ada keluar darah setelah meninggal.
Jadi waktu itu kami lakukan pemasangan alat ventilator, saya keluar mau edukasi, ternyata orangtuanya sudah tidak ada. Kami telepon ikut, tanya di mana keluarga? Oh pulang,” ungkapnya.
CPAP Selama 11 Jam
Kabid Pelayanan RSUD MGR Gabriel Manek, dr. Meirinawati Gunawan, menambahkan bahwa perlu diluruskan opini yang beredar di medsos seolah ada kekerasan terhadap bayi yang ditandai dengan ada memar, hidung berdarah.
“CPAP itu seperti topi. Saya hitung bahwa pemakaian CPAP itu selama 11 jam perawatan dengan penekanan. Kulit bayi tentu sangat tipis dibandin kita orang dewasa. Sehingga penekanan yang menurut kita sedikit, tapi bagi bayi itu sensitif.
Akibat penekanan 11 jam itu memang harus dipasang kencang, kalau tidak maka alat yang di posisi hidungnya akan bergeser. Jadi memang fiksasinya harus pas di kepala. Memang sebelum fiksasi ada topi yang dipakai sebagai alas.
Tapi sekali lagi, kulit bayi itukan tipis, ketika penekanan sekecil apapun pasti akan berdampak.
Ini bayi baru berusia 2 hari dan dipasang selama 11 jam. Akibatnya menimbulkan kemerahan, lecet. Tapi di foto itu lebam, orang bisa berpikir ada benturan, ada kekerasan. Ya lebam itu kita bisa jelaskan secara medis bahwa setiap proses kematian, ketika terjadi orang meninggal dalam waktu satu dua jam itu bisa terjadi proses namanya lebam mayat.
Akibat proses lebam mayat itu yang awalnya cuma merah, akhirnya terlihat lebih jelas seolah-olah itu memar padahal itu proses alamiah pada mayat yang satu dua jam itu terjadi. Terus menurut ibunya kami menutup dengan topi, tidak ada yang kami tutupi dengan topi tetapi memang dari awal sejak perawatan bayi dihangatkan dengan memakai salah satunya topi,” urainya.
Rumah Sakit Tidak Larang
Mengenai informasi yang beredar bahwa pihak RSUD MGR. Gabriel Manek Atambua melarang agar jenasah bayi malang itu tidak boleh dibuka keluarga, dr. Theo membantahnya dan mengatakan bahwa informasi itu tidak benar.
“Bahwa dari perawat atau rumah sakit tidak membolehkan membuka jenasah, itu sebenarnya tidak ada seperti itu. Bahwa memang perawatan jenasah itu tetap kita lakukan di rumah sakit, kita bungkus dengan baik. Keluarga yang mau melihatpun waktu saat dilakukan pembersihan dan pembungkusan jenasah itu keluarga ikut menyaksikan. Dan memang tidak diingatkan untuk jangan membuka.
Jadi perkataan bahwa dari RS melarang keluarga untuk membuka jenasah dari bayi itu tidak benar. Bahwa waktu kita bersihkan, mandikan, keluarga sudah ikut menyaksikan. Yang kita lakukan itu disaksikan pihak keluarga. Sebelum melakukan tindakan, kita selalu memanggil keluarga untuk ikut menyaksikan dan kita mmberitahukan keluarga semua tindakan yang mau kita lakukan terhadap pasien itu,” tegasnya.
Kabid Pelayanan RSUD MGR Gabriel Manek, dr. Meirinawati Gunawan, menjelaskan bahwa informasi yang beredar di medsos ini berawal dari pesan di whatsapp group dan pihaknya telah meresponnya.
“Berawal dari ibu (ibu bayi yang meninggal, red) ini kirim ke WA grup di Kefa. Seolah-olah komplain terhadap penanganan BPJS. Karena dia BPJS sehingga kami perlakukan seperti itu dan BPJS yang menyampaikan kembali ke kami.
Dan kemarin karena pembahasan itu itu di grup hanya mempertanyakan memar dan mengapa ditutupin pakai topi. Jadi kemarin kami dari bidang pelayanan sudah membahas bahwa lebam itu kami jawab seperti ini dan tutup topi itu bukan menutupi lebam dan tidak ada unsur kesengajaan.
Tapi dalam perjalanan, beredar begitu banyak opini yang akibatnya opini yang terbentuk bahwa ada kekerasan terhadap bayi sehingga menimbulkan kematian. Prosedur medis yang kita lakukan semua dengan pengetahuan dan persetujuan orang tua.
Kita sudah lakukan yang terbaik tapi tidak berhasil. Bapaknya masuk menangis dan keluarganya. Kita jelaskan bahwa kami akan cabut ventilator dan minta keluarga bawa pulang. Keluarga tidak protes,” urainya.
Menurut dr. Meirinawati Gunawan, hingga saat ini pihak keluarga bayi yang meninggal tak pernah meminta penjelasan pihak RSUD MGR. Gabriel Manek, akan tetapi narasi-narasi miring justru beredar di media sosial.
Secara medis, kata dr. Meirinawati Gunawan, bayi tersebut meninggal karena gagal pernapasan.
“Dengan diagnosisnya gagal napas disebabkan oleh distres napas, disebabkan ke arah sepsis. Bayi ini mengalami sepsis sehingga mengalami peningkatan gula darah dan juga pendarahan di saluran cerna. Semua yang kami lihat itu sudah tindaklanjuti dengan pemberian obat dengan antibiotik dan tindakan yang sesuai.
Waktu itu kita sempat tanya, keluarga sempat bilang minum air gula tapi sempat diralat sama bapaknya bilang ibunya yang minum. Selama perawatan itu mungkin Anaknya malas menetek (menyusu,red) akhirnya jadi demam dan proses infeksi bisa menyebabkan gula darah meningkat,” jelasnya.
Mengenai gula darah bayi yang mencapai angka 800, dr. Joanita A. Widodo, Sp.A, menambahkan, bahwa selama perawatan dilakukan pemeriksaan ulang di laboratorium sebanyak tiga kali.
“Hasil pemeriksaan laboratorium semua ada, tiga kali diulang dan itu nilainya 800, 500 dan 400. Istilah medis itu nilai kritis. Mengapa? Salah satunya distres metabolisme, tubuhnya sendiri yang stres. Faktor berikutnya adalah asupan gula dari luar karena satu hari itu perawatan oleh orang tuanya langsung. Itu yang kita belum tahu apakah ada asupan. Sempat ada pertanyaan dari perawat kami apakah ada tambahan selain asi,” jelas dr. Joanita.
Kepala Tata Usaha, Maria G Mali pada kesempatannya menyampaikan berbelasungkawa atas meninggalnya bayi tersebut sembari menegaskan bahwa narasi-narasi di medsos tidak benar.
“Kita berduka cita atas meninggalnya adik bayi. Sesuai kronologis yang disampaikan, kami melayani semua pasien tanpa membeda-bedakan satu sama lain termasuk adik bayi ini. Ada narasi di luar seolah kami memperlakukan bayi ini tidak baik.
Itu sama sekali tidak benar. Di ruang perina itu kami merawat begitu banyak bayi dan kita tidak inginkan seperti terjadi pada adik bayi ini. Narasi di luar itu semestinya tidak ada. Kami melayani semua pasien secara merata dan baik. Yang datang berobat adalah keluarga kita. Ketika kita bisa merawat dengan baik maka itu kebahagian tersendiri,” pungkasnya. (roy/TIMOR DAILY/TIMORDAILYNEWS.COM)