_*MEDICAL NEGLIGENCE*_ *DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEWAJIBAN PEMENUHAN HAK DASAR PASIEN*
( _Suatu analisa yuridis atas matinya pasien rawat inap di Rumah Sakit akibat tidak berfungsi alat (bantu) medis / kesehatan karena padamnya listrik_).
oleh :
loly, bonafentura
_*everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well being of himsefl and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livehood in circumtances beyond his control*_. ( The universal declaration of human rights- article 25 )
_*Listrik Padam ; tidak berfungsi nya alat (bantu) medis / kesehatan sebagai suatu prognosis medical negligence*_.
Pada *8 Februari 2010*, empat pasien rawat inap di _*RSUD Pringadi*_ Medan meninggal dunia diduga akibat padamnya listrik. Korban pasien di ruang ICU diduga meninggal dunia akibat alat bantu medis terkoneksi dengan listrik tidak berfungsi, karena padamnya listrik. Pihak menejenen Rumah Sakit membantah hal itu dan _beropini_ bahwa para korban pasien tidak menggunakan alat bantu medis (pernapasan) sehingga tidak memiliki kaitannya dengan padamnya listrik ( Adelia Eka Putra Mirza, news okezone.com ).
Pada *25 Juli 2021*, dua pasien covid-19 meninggal dunia di Rumah Sakit _*Garden Hospital*_ Yordania karena padamnya listrik Rumah Sakit itu. Proses penyelidikan segera dilakukan guna memastikan hal itu adalah kelalaian atau kesengajaan dari menejemen Rumah Sakit.( Hari Ariyanti-merdeka.com)
Paparan kedua _prognosis_ dari dugaan _medical negligence_ sebagai salah satu dari sembilan _anasir_ yang ( dapat ) _memantik_ tuntutan hukum dari korban pasien atau keluarganya versi Ikatan Dokter Indonesia tersebut, patut lah menjadi perhatian kita bersama.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan _komparatif_ diametral antara kedua dugaan _medical negligence_ tersebut diatas dengan peristiwa konkrit yang _mirip_ di Alor – NTT beberapa waktu lalu yang patut diduga berakibat pada meninggalnya korban pasien _*Viktor Onam Karipui*_ di RSUD Kalabahi.
_*Insiden 10 Maret 2022 di RSUD Kalabahi*_.
Pada 10 Maret 2022, saudara _*Viktor Onam Karipui*_ meninggal di ruang _intensive care unit_ RSUD Kalabahi-Alor, kematian mana patut diduga akibat dari tidak berfungsinya alat bantu medis/ kesehatan pernapasan (ventilator) karena listrik PLN padam dan tidak ada _koneksi_ pasokan listrik dari _genset_ RSUD Kalabahi saat itu. Almarhum yang semula _dirawatinapkan_ oleh keluarga karena menderita covid-19, namun ketika telah melewati masa kritis dan _saturasi_ nya menunjukan angka 95 % dan berangsur membaik, _petaka_ itu datang. Listrik (PLN) padam dan tidak ada pasokan listrik guna menunjang alat bantu medis/ kesehatan pernapasan ( ventilator ) yang sedang almarhum gunakan dan itu mengakibatkan _saturasi_ almarhum turun drastis hingga 30 % dan berakhir fatal dengan kematianya. Ada upaya yang dilakukan keluarga guna mencari alat bantu pernapasan di luar RSUD Kalabahi, namun semuanya terlambat. Ada teman penulis seorang _aktivis_ menelpon dan menceritakan kejadian menyedihkan itu. Seorang ibu, yang juga ketua DPRD Alor, _*Enny Anggrek*_ sampai harus meluangkan waktu menelpon PLN Kalabahi dan pada akhirnya teknisi PLN lah yang turun ke lokasi guna memperbaiki _genset_ RSUD Kalabahi ( rusak?) saat itu. Yang jadi tanda tanya penulis sampai detik ini, mengapa _pers_ Alor tidak ada satupun mengulas tentang itu ! Jika kontrol _pers_ tidak ada, maka kematian almarhum akan dianggap sebagai takdirnya, dan tentu saja tidak akan pernah ada investigasi terkait tidak berfungsi ( rusak?) nya _genset_ RSUD Kalabahi. Publik Alor pun tidak akan pernah tahu apakah rusaknya _genset_ itu adalah suatu kesengajaan atau suatu kelalaian ! Ini sungguh memprihatinkan. Jika tidak ada kontrol _pers_ maka jikalau suatu saat ada kejadian yang sama terulang lagi, maka kita hanya bisa berdoa, semoga itu tidak menimpa sanak keluarga kita. Patut disayangkan pula, sepanjang yang penulis tahu dari teman- teman _aktivis_ di Kalabahi, tidak ada satupun menejemen RSUD Kalabahi mengklarifikasikan segala sesuatu terkait kematian almarhum dalam _press release_ resmi RSUD Kalabahi.
Ini sungguh memprihatinkan. Masyarakat Alor memiliki hak untuk mendapatkan semua penjelasan dari badan publik berdasarkan UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, termasuk didalamnya penjelasan dari RSUD Kalabahi. Konteks kejadian di RSUD Kalabahi menambah _raport merah_ pelayanan publik di Alor pasca survey yang dilakukan Komisi Ombudsman NTT. Ini sungguh memprihatinkan.
Sudah sepatutnya DPRD ALOR segera panggil Direktur RSUD Kalabahi atau Kadis Kesehatan Kabupaten Alor untuk diminta penjelasan terkait itu dan tentu saja publik pun harus pula mendorong Polres ALOR untuk segera lakukan _investigasi_ untuk memberikan _sinyalemen_ bahwa penegakan hukum itu sangat penting bagi masyarakat Alor.
Bahwasanya, terkait dengan pemadaman listrik dalam rangka perbaikan, lazimnyaya sesuai standar operasional lapangan, ada pemberitahuan oleh PLN kepada publik satu atau dua hari sebelumnya, terkecuali pemadaman itu terjadi karena keadaaan cuaca buruk akibat badai atau kerusakan yang bersifat _insidentil_ seperti meledaknya _travo_ , suatu pengecualian yang dapat dimaklumi.
Tulisan ini tidak berpretensi mendiskreditkan tanggung jawab RSUD Kalabahi namun demi memberikan _reorientase_ terhadap hak-hak dasar pasien yang dalam dua tahun terakhir ini _terkikis_ karena pendemi Covid-19 dan dalam konteks Alor, demi memberikan _warning_ bagi semua masyarakat Alor, terutama Dewan, Birokrat dan juga _pers_ di Alor untuk senantiasa mengontrol, memperbaiki dan mengutamakan hak-hak dasar pasien yang dirawat di RSUD Kalabahi secara khusus dan tentu saja kesehatan masyarakat Alor secara umum.
Ini penting demi memberikan pelayanan kesehatan yang _bermartabat_ , prima dan tentu saja guna mewujudkan salah satu visi misi Djobo-Duru _*ALOR SEHAT*_.
_*Mencari Ratio Filosofis*_
Jika merujuk pada article 25 dari _*The Universal Declaration of Human Rights*_ diawal tulisan ini, maka dapat dipahami pada dasarnya pasal itu menekankan bahwa dalam kaitannya dengan _hak perawatan medik_ , maka pada hakikatnya hukum medik bertumpu pada dua hak dasar pasien, _*pertama*_ hak atas perawatan – pemeliharaan medik ( _the right to health care_ ) dan _*kedua*_ hak untuk menentukan nasip sendiri ( _the right of self determination_ ).
Jika kita merujuk pada konteks hubungan antar manusia, maka hubungan dokter-pasien dalam pelayanan kesehatan baik terhadap diri pribadi, keluarga maupun komunitas masyarakat diperlukan tatanan dan landasan filosofis yang mengarah pada tanggung jawab moral yang essensial dalam pelaksanaannya dimana inti dari falsafah ini adalah penghormatan terhadap hak dan martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan.
Dengan demikian, maka implementasi dari landasan filosofis tersebut yang sejak lama telah tercetus dalam sumpah _hipocrates_ ( 496-377 SM ), dalam praksisnya lebih menekankan kehormatan dokter atas kepercayaan yang dilimpahkan oleh para dewa untuk merawat manusia yang membutuhkannya.
Dalam konteks Indonesia, jika kita merujuk pada pasal 28 H UUD 1945 ditegaskan bahwa _setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan_. Selanjutnya dalam pasal 10 dan 11 KODEKI, ditegaskan bahwa _adalah kewajiban dokter untuk senantiasa melindungi hidup makhluk insani serta menghormati hak mereka ( pasien)_.
Bahwa kedua hak dasar pasien itu lah yang sepatutnya diimplementasikan dalam konteks tidak saja pada hubungan dokter-pasien dalam suatu perikatan yang dikualifisir sebagai _*perikatan kuat berusaha*_ ( _inspanningverbintennis_) dalam _transaksi terapeutik_ dokter-pasien ( vide = pasal 1320 KUHperdata) melainkan juga dalam konteks pelaksanaan _standar pelayanan rumah sakit_ ( Vide= pasal 13 ayat (3) UU 44/2009 / UU Cipta Kerja).
_Transaksi terapeutik_ pada dasarnya merupakan _informed consent_ atau sering disebut juga sebagai _*persetujuan tindakan medik*_ yang pada hakikatnya mencakup dua aspek penting, yaitu _pertama_ aspek _medical providers_ dan _kedua_ _medical receivers_ , dimana berdasarkan pandangan doktrinal hukum perdata ia mengatur hak-kewajiban dokter-pasien terkait dengan tindakan medik, cara dan teknis pengobatan hingga resiko yang bakal terjadi dalam tindakan medik tersebut.
Dari konsepsi filosofis hubungan dokter-pasien ini yang dikemudian waktu melahirkan hak dan kewajiban dokter-pasien dalam hubungan hukum, sosial dan profesi, termasuk hubungan pasien dengan Rumah Sakit dalam konteks penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat yang bermartabat, prima, terkoordinasi dan terintegrasi, maka
secara _linear_ dalam konteks itu, pelayanan kesehatan masyarakat merupakan bagian yang _integral_ dari tenaga kesehatan ( termasuk dokter ) yang ada dengan sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang didasari pada _akhlak_ ( mores ) dan _kesopanan_ ( ethos ) yang tinggi.
_*Memaknai rujukan yuridis normatif*_
Bahwa Rumah Sakit dalam menjalankan fungsinya untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan dan juga gawat darurat ( vide= psl. 1 angka (1) UU No 44/ 2009 sebagaimana dirubah dengan UU Cipta Kerja ) harus berpedoman pada standar pelayanan rumah sakit demi memberikan pelayanan kesehatan masyarakat yang bermartabat, prima , terkoordinasi dan terintegrasi.
Standar pelayanan rumah sakit adalah pedoman yang harus diikuti dalam menyelenggarakan rumah sakit, antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan medis dan standar asuhan keperawatan ( vide= psl. 13 (3) UU No.44/2009 dan perubahannya ).
Bahwa dari ketiga standar pelayanan rumah sakit tersebut, maka bertalian dengan konteks permasalahan yang jadi obyek kajian penulis, penulis mempersempit pada konteks standar prosedur operasional, namun tidak lantas pula mengabaikan eksistensi dua standar lainnya dalam penulisan ini. Dalam konteks standar pelayanan rumah sakit, ketiga standar pelayanan itu sangat penting guna mewujudkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat yang selalu bertumpu pada pemenuhan hak-hak dasar pasien yaitu hak perawatan-pemeliharaan medik ( the right to health care ) dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri ( the right of self determination ).
Dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar pasien itulah Rumah Sakit menggunakan teknologi alat bantu medis / alat kesehatan demi menunjang standar pelayanan medis Rumah Sakit yang terkoordinasi dan terintegrasi demi keselamatan pasien ( nilai kemanusiaan ).
Bertalian dengan perspektif demikian, maka jika kita merujuk pada pasal 23 *Permenkes RI No. 24/2016 tentang teknis bangunan dan prasarana rumah sakit* , pasal mana menegaskan bahwa instalasi listrik rumah rumah sakit wajib diadakan demi menjamin keselamatan manusia. Itu artinya penggunaan alat bantu medis dan atau alat kesehatan yang bersifat _elektronik_ dengan tujuan menyelenggarakan keselamatan pasien ( nilai kemanusiaan ) merupakan titik tuju dari keseluruhan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Rumah Sakit.
Bahwa yang dimaksud dengan keselamatan pasien ( patient safety ) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien yang lebih aman, termasuk didalamnya _assesmen_, resiko, indentifikasi, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir resiko.
Dari _prognosis_ penyelenggaraan pelayanan kesehatan rumah sakit yang berbasis pada penggunaan alat bantu medis atau alat kesehatan _elektronik_ sebagaimana terurai diawal tulisan ini, maka jika kita merujuk pada anasir _medical negligence_ sebagai satu dari sembilan _anasir_ yang menjadi alasan munculnya tuntutan hukum dari korban pasien atau keluarganya baik terhadap dokter maupun rumah sakit versi Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ), maka menurut penulis adanya _medical negligence_ atau kelalaian medik ini diakibatkan oleh kelalaian dokter dan / atau Rumah Sakit yang tidak memenuhi standar prosedur operasional, standar pelayanan medis maupun standar asuhan keperawatan.
Secara teoretis, ketiga standar pelayanan rumah sakit termaksud memiliki konsekuensi hukum berbeda dalam kaitannya dengan implikasi pelayanan buruk rumah sakit yang menimpa korban pasien.
Dalam konteks standar pelayanan medis yang berkaitan dengan standar profesi medis, maka dokter dalam kapasitasnya sebagai suatu profesi dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum baik secara perdata maupun pidana jika terbukti melakukan malpraktek dokter. Namun sebagai suatu profesi, tuntutan hukum terhadap profesi dokter harus diasumsikan dapat dilakukan dengan syarat bahwa terkait dugaan malpraktek dokter telah terlebih dahulu diperiksa oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran dan dalam pemeriksaan kode etik mana tidak terbukti adanya pelanggaran etik dokter, namun merupakan pelanggaran hukum.
Dalam doktrin hukum pidana, medical negligence dalam standar pelayanan medis dokter terjadi manakala dokter lalai dan atau terlambat dalam mengambil tindakan medis diluar konteks Persetujuan Tindakan Medis sehingga berakibat fatal bagi korban pasien. Sebagai misal, jika listrik PLN padam sehingga tidak berfungsinya alat bantu medis / alat kesehatan penunjang pernapasan ( ventilator ) dan tidak terkoneksi pula pasokan listrik penunjang dari _genset_ Rumah Sakit, maka bilamana kondisi ini tidak ditanggulangi sehingga korban pasien meninggal dunia, maka dapat dilakukan tuntutan hukum terhadap dokter yang menangani pasien tersebut.
_*Medical Negligence*_ secara harafiah di maknai sebagai _bad practice_ atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medis yang mengandung ciri-ciri khusus.
Dalam konteks ini dokter dapat diancam dengan pidana berdasarkan pada pasal 359 KUHP. Penerapan pasal _a quo_ tentu saja dengan pertimbangan terhadap segala upaya yang telah dilakukan oleh sang dokter dalam menyelamatkan nyawa korban pasien. Tentu saja ancaman hukuman yang berbeda akan diterima oleh seorang dokter yang acuh tak acuh terhadap keselamatan pasien selama berjam-jam dalam suatu ruang ICU dimana tidak berfungsinya _ventilator_ bantu pernapasan.
Berdasarkan pengertian doktrinal hukum pidana, kelalaian adalah suatu struktu yang gecompliceerd yang mengandung disatu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir dan merujuk pada adanya keadaan batin tertentu dan dilain pihak keadaan batin itu sendiri.
Bagi penulis kealpaan atau kelalaian harus memenuhi dua anasir sebagai syaratnya, _pertama_ tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum, _kedua_ , tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Dari pengertian doktrinal kelalaian _medical negligence_ bukan suatu resiko medis. Penekanan yang hakiki dari medical negligence adalah faktor lalai dari dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam Rumah Sakit.
Bahwa tidak saja secara pidana, secara perdata, berdasarkan pasal 1365 KUHperdata keluarga korban pasien dapat menuntut penggantian kerugian terhadap dokter yang bersangkutan.
Sedang dari perspektif standar prosedur operasional, maka _medical negligence_ yang diakibatkan oleh padamnya listrik PLN dan terputus nya sarana penunjang operasional media karena tidak terkoneksinya _genset_ Rumah Sakit sebagai pemasok listrik guna memenuhi standar prosedur operasional Rumah Sakit, maka bilamana dari kondisi tersebut menimbulkan korban jiwa pasien, maka tuntutan hukum dapat diajukan oleh keluarga korban pasien kepada Rumah Sakit yang bersangkutan. Dalam konteks _bad practice_ oleh Rumah Sakit dengan tidak menerapkan standar prosedur operasional dan standar asuhan keperawatan, adalah merupakan tanggung jawab perdata rumah sakit termasuk bertanggung jawab juga atas kelalaian para _Nakes_ nya sehingga menimbulkan kerugian bagi korban pasien.
Dalam pengertian doktrinal hukum perdata, dikenal adanya _pertanggungjawaban tanpa kesalahan_(vide =psl. 1367 KUHperdata), dalam konteks ini Rumah Sakit bertanggung jawab atas semua kesalahan karyawannya, namun dengan tidak menutup kemungkinan langkah hukum itu dibarengi pula dengan pengaduan kepada Dewan Pengawas Rumah Sakit berdasarkan _*Permenkes RI No. 10/2014 tentang Dewan pengawas Rumah Sakit*_.
Dalam pengertian doktrinal hukum pidana, penerapan hukum pidana terhadap karyawan / tenaga kesehatan dalam konteks pelayanan buruk itu dapat terkandung anasir _kelalaian_ dan / atau _kesengajaan_ yang berakibat pada meninggal nya korban pasien. Dalam konteks yang demikian, pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan pasal 359 KUHP.
Berdasarkan pada konstruksi hukum atau aturan normatif yang telah penulis paparkan diatas, maka sudah barang tentu selain berpedoman pada rumusan pasal demi pasal, perlu pula dipedomani teori-teori sebab akibat dari kondisi/ faktor-faktor penyebab dengan akibat yang ditimbulkannya.
Ada empat teori berkaitan dengan hubungan kausalitas dalam hukum pidana, penulis cenderung _meneropong_ _medical negligence_ dengan menggunakan theori _individualisir_ , dimana theori ini melihat sebab _in concreto_ atau _post factum_ sebagai suatu perhitungan yang layak yang menimbulkan akibat. Dalam theori ini hal yang khusus diukur menurut pandangan individual.
Jika argumen hukum dikonstruksikan berdasarkan pada theori itu, maka paling tidak ada empat syarat yang dibutuhkan untuk mewujudkan anasir _medical negligence_, yaitu _pertama_, _*Duty*_, harus ada hubungan dokter-pasien sehingga ada kewajiban dokter mengobati pasien; _kedua_ , _*Dereliction of that duty*_, terdapat suatu penyimpangan dari _duty_ pada pihak dokter karena ia tidak melakukan kewajiban menurut standar profesi; _ketiga_ , _*Direct causation*_, harus ada kaitan secara langsung antara tindakan dokter dengan kerugian yang timbul; _keempat_ _*Damage*_ sehingga timbul suatu kerugian.
Berdasarkan pada paparan tersebut diatas , maka guna menegaskan bahwa padamnya listrik merupakan suatu bentuk medical negligence yang dapat berakibat fatal pada kematian korban pasien, maka dalam konteks insiden 10 Maret 2022, penulis akan mengkajinya demi memberikan pemahaman yang komprehensif terkait kematian _*Viktor Onam Karipui*_.
_*Patologi dugaan medical negligence dalam kematian Viktor Onam Karipui*_.
Berdasarkan pada peristiwa konkrit yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, dimana ada dugaan penyebab kematian almarhum _*Viktor Onam Karipui*_ , adalah tidak berfungsi nya _ventilator_ yang saat itu digunakan oleh almarhum karena listrik PLN padam dan tidak ada koneksi pasokan listrik akibat _genset_ RSUD Kalabahi rusak dan itu berakibat fatal bagi almarhum. Sungguh memprihatinkan.
Sebelum masuk pada analisa hukumnya, penulis merasa perlu lakukan pendekatan sebagaimana paparan diawal tulisan ini, pendekatan _komparatif – diametral_ agar
bisa lebih dipahami faktor-faktor terkait dalam perspektif kondisi sosial yang _rapuh_ ditengah pandemi covid-19, termasuk yang sedang terjadi di Alor saat ini.
Dalam kasus meninggalnya empat pasien di RSUD Pringadi Medan, empat korban pasien di rawat di ruang ICU, namun menejemen Rumah Sakit membantah meninggal ke empat korban pasien secara bersamaan dalam ruang ICU bukan karena padamnya listrik. Dalam konteks ini, jika melihat kematian bersamaan para korban pasien bertepatan dengan padamnya listrik, maka sudah sepatutnya dilakukan _investigasi_ oleh aparat penegak hukum meskipun menejemen Rumah Sakit telah membantah itu.
Dalam peristiwa yang terjadi di Rumah Sakit _*garden hospital*_ Yordania, investigasi segera dilakukan oleh aparat penegak hukum disana, dan menejemen Rumah Sakit tidak memberikan _press release_ apapun dan bagi penulis ini langkah tepat agar tidak ada informasi yang menyesatkan bagi publik. Dalam proses investigasi oleh aparat penegak hukum, akan ditemukan apakah padamnya listrik diakibatkan kelalaian atau justru kesengajaan dari menejemen Rumah Sakit. Ini akan jadi penting dalam membongkar kebobrokan moral oknum- oknum yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan Rumah Sakit.
Dalam _insiden_ kematian korban pasien _*Viktor Onam Karipui*_, diperoleh fakta-fakta sebagai berikut, _*satu*_, saturasi korban pasien sudah normal 95% , dari diagnosa penyakit yang disebabkan oleh covid-19, jika merujuk pada hasil saturasi korban pasien, angka 95 % adalah angka aman dan telah melewati masa kritis. _*Dua*_, listrik RSUD Kalabahi padam, tidak ada koneksi pasokan listrik dari _genset_ Rumah Sakit karena _genset_ rusak. _*Tiga*_ saturasi korban pasien drop down hingga 30%, _*empat*_, korban pasien meninggal dunia.
_*Lima*_ tidak ada satupun menejemen Rumah Sakit memberikan press release terkait Insiden itu.
Berdasarkan pada lima fakta yang dapat disebutkan sebagai _suatu patologi_ medical Negligence, maka penulis tetap pada dugaan sejak semula bahwa kematian korban pasien adalah merupakan suatu _medical Negligence_ yang jelas-jelas jadi tanggung jawabnya RSUD Kalabahi.
Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa ada empat parameter yang dapat digunakan untuk memformulasikan adanya suatu _medical negligence_, yaitu _pertama_ , _*duty*_ yaitu harus ada hubungan dokter-pasien. Dalam konteks ini jelas sekali ada transaksi terapeutik antara korban pasien dengan dokter. Pihak keluarga korban pasien dapat meminta dokumen medik berupa transaksi terapeutik dan juga Rekam Medik ( medical record ) untuk kepentingan penuntutan hukum ( vide = Psl. 359 KUHP dan Psl. 1365, 1367 KUHperdata).
_Kedua_, _*Dereliction of that duty*_ ada penyimpangan dari duty oleh dokter karena tidak melakukan kewajiban menurut standar profesi. Bagi penulis ini adalah _quasi_ medical negligence sekaligus merupakan kelalaian profesi medik dan bahkan merupakan _bad practice_ dalam perspektif penyelenggaraan standar prosedur operasional Rumah Sakit. Kejadian ini _terwujud_ pada tidak adanya pasokan listrik _genset_ guna kepentingan kemanusiaan. _Ketiga_ _*direct causation*_ padamnya listrik merupakan penyebab ventilator tidak berfungsi dan menjadi penyebab kematian bagi korban pasien . _Empat_ _*Damage*_ timbulnya kematian bagi korban pasien.
Berdasarkan pada uraian dari aspek hukum tersebut, penulis dengan tanpa berpretensi apa pun meminta Polres Alor segera melakukan penyelidikan sehingga semua kebenaran akan terungkap dan ini demi kepentingan masyarakat Alor yang haus akan pelayanan kesehatan yang bermartabat, prima, terkoordinasi dan terintegrasi.
Demikian.
Penulis adalah Advokat
Tinggal di Semarang-Jawa Tengah.
Catatan Redaksi : Bagi Pihak-Pihak yang ingin memberikan tanggapan opini ini dapat kirim artikelnya ke nomor WA…082340371146