TIMORDAILYNEWS.COM – Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Belu tahun 2024 ini menjadi perhatian para pihak.
Bahkan, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NTT, Veronika Ata, SH, M.Hum mengecam para pelaku kejahatan ini dan meminta aparat kepolisian menindak tegas serta memberi hukuman maksimum.
Salah satu ahli hukum, Beniharmoni Harefa pernah mengatakan bahwa Perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak termasuk dalam kategori graviora delicta atau kejahatan paling serius.
BACA JUGA :Paslon AT-AK Resmi Daftarkan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
BACA JUGA : Kekerasan Seksual di Belu Masih Tinggi, Ketua LPA NTT; Tindak Tegas Pelaku dan Terapkan Hukuman Maksimum
Hal ini dikatakan Harefa ketika menjadi saksi ahli dalam persidangan secara daring di Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2021 silam.
Dilansir dari mkri.id, MK kembali menggelar sidang pengujian Pasal 288 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 293 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Senin (4/10/2021) siang.
Agenda sidang untuk Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021 kali ini yakni mendengarkan keterangan Ahli Pemohon.
Dalam persidangan secara daring, Ahli Hukum Acara Pidana dan Hukum Perlindungan Anak, Beniharmoni Harefa selaku Ahli Pemohon, memaparkan mengenai kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan. Perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak termasuk dalam kategori graviora delicta atau kejahatan paling serius.
Dikatakannya, dampak yang ditimbulkan akibat kejahatan seksual, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak sangatlah beragam dimulai dari dampak psikologis yakni trauma, dampak fisik seperti tertular penyakit, dampak cedera tubuh yang mana terdapat kerusakan organ internal, serta dampak sosial seperti dikucilkan dalam lingkungan sekitar bahkan hal ini pun berpotensi merusak masa depan korban.
“Kejahatan tersebut merupakan super mala per se, sangat jahat dan tercela, dan sangat dikutuk oleh masyarakat (people condemnation) baik nasional maupun internasional,” tegasnya.
Lebih lanjut Beni mengatakan, Pasal 293 ayat (2) KUHP yang menentukan frasa penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu merupakan kategori delik aduan absolut di mana perbuatan pidana hanya dapat diproses apabila ada aduan dari korban.
Hal ini menjadi penghambat perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat korban atas perbuatan pelaku. Korban yang mengalami goncangan psikis atas perbuatan cabul, persetubuhan yang terjadi, serta korban yang masih berusia anak, berpotensi tidak berani melaporkan pelaku, dan ini menghambat korban untuk menuntut pelaku.
Menurut Beni, Pasal 293 KUHP tidak jelas memberikan pernyataan umur atau usia berapa yang dimaksud dalam kategori belum dewasa.
Bahkan dalam beberapa kasus sebagaimana diuraikan dalam permohonan para pemohon, masih terdapat penuntut umum yang memasukkan ketidakdewasaan berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana usia belum dewasa yaitu 21 tahun.
Hal ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum, serta multitafsir dalam penerapan Pasal 293 KUHP.
Sementara Pasal 288 KUHP frasa belum waktunya dikawini, belum memberikan penjelasan terkait batas usia belum waktunya dikawini. Sehingga hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan perdebatan dan multitafsir dalam tataran penerapan hukum mengenai seperti apa belum waktunya untuk dikawini?
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP, menurutnya sebaiknya merujuk pada Undang-Undang Perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 7 ayat (1) menegaskan batas usia perkawinan baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.
Berdasarkan RUU KUHP versi September 2019, sambung Beni, perbuatan cabul terhadap anak atau persetubuhan terhadap anak diatur dalam Pasal 423 RUU KUHP yang menyebutkan, setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan, menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga anak,
untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Apabila melihat konstruksi yang dibangun oleh tim perumus RUU KUHP, maka terlihat delik perbuatan cabul terhadap anak sebagaimana dalam RUU KUHP itu merupakan delik biasa dan bukan delik aduan.
“Delik perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak masuk dalam ke ranah publik dan bukan ranah privat,” kata Beni dalam persidangan secara daring
Hal tersebut, jelas Harefa, dapat dilihat dari Pasal 76E juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Pasal 76E UU Perlindungan Anak berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Dikatakan Harefa, dari delik pencabulan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76E juncto Pasal 82 UU Perlindungan Anak tersrbut, dikategorikan sebagai delik biasa, bukan delik aduan. Demikian halnya perbuatan cabul terhadap anak atau persetubuhan terhadap anak yang diatur dalam Pasal 423 RUU KUHP yang berbunyi,
“Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga anak untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”
Dengan demikian, Harefa mengatakan,perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 432 RUU KUHP merupakan delik biasa dan bukan delik aduan. Hal ini menandakan betapa berbahayanya perbuatan cabul terhadap anak dan masuk ke dalam ranah publik, bukan ranah privat.
Sebelumnya diberitakan, berdasarkan data Pemkab Belu, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai ratusan kasus. Dan yang lebih mencengangkan, para pelaku adalah orang terdekat korban.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Dan Pengendalian Penduduk Kabupaten Belu mencatat untuk tahun 2023 hingga bulan Oktober sebanyak 82 angka kasus kekerasan menimpa perempuan dan anak.
Dari jumlah kasus kekerasan dimaksud berupa tindak kekerasan seksual berupa pelecehan dan pemerkosaan dan anak menjadi korban sudah sebanyak 20 lebih angka kasus.
“Dari 82 kasus yang terjadi yang lebih itu tindak kekerasan terhadap anak berupa kekerasan seksual,” ungkap Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Dan Pengendalian Penduduk (DP3A) Kabupaten Belu Wendi Meak di sela-sela pelatihan manajemen penanganan kasus korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Belu, Rabu (22/11/2023) seperti dilansir rri.co.id
Wendi Meak mengatakan, beragam faktor penyebab diantaranya kebanyakan anak setelah ditinggal pergi orang tua merantau hendak bekerja keluar daerah sebagai pekerja Migran kemudian anak dititipkan baik di kakek nenek ataupun sanak famili dikarenakan kurang perhatian pada akhirnya menjadi korban.
“Bisa karena terbatas pengetahuan SDM juga ada persoalan di lingkup keluarga menyangkut pengawasan anak-anak yang kurang. Sebab sesuai fakta pada umumnya dititipkan orang tua kepada kakek dan nenek dan orang tua bekerja migran sehingga kurang pengawasan anak-anak jadi korban,” ucapnya.
Selain itu menurutnya kurangnya informasi masyarakat berkaitan dengan undang-undang perlindungan perempuan dan anak serta keterbatasan SDM dan pengawasan orang tua/ bagian penyebab terjadi kasus kekerasan.
Sementara kurun waktu 3 tahun terakhir 2021 hingga bulan oktober 2023 bila dikalkulasi angka kasus sesuai yang sudah dilaporkan kemudian ditangani sudah sebanyak 325 kasus kekerasan menimpa perempuan dan anak baik kasus pelecehan seksual maupun pemerkosaan. Cukup memperihatinkan dari ratusan kasus yang terjadi sebagian besar oknum pelaku adalah orang dekat korban.
“Pelaku itu ada usia anak ada usia dewasa sampai usia kakek nenek, dan pelaku kekerasan terhadap ini di atas lima puluh persen pelakunya adalah orang dekat korban. Kakek nenek, paman, ayah tiri bahkan saudara sepupu juga miris memang,” ujarnya.
Salah satu upaya yang sementara dilakukan Pemerintah melalui Dinas P3A Belu dengan membentuk jejaring sosial melibatkan masyarakat desa kelurahan sebagai agen paralegal. Peran serta bisa cepat menginformasikan adanya temuan kasus yang terjadi di lapangan agar bisa segera ditangani.
Salah satu tokoh masyarakat Kelurahan Manumutin, Kabupaten Belu, Markus Mbelo menanggapi tingginya angka kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Belu cukup merasa kuatir terhadap persoalan ini.
Menurut Pensiunan ASN pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Atambua ini, persoalan yang terjadi lebih pada faktor kurangnya pengawasan oleh orang tua maupun lingkungan sekitar.
“Mengapa sampai muncul; kekerasan terhadap perempuan maupun anak yang pertama karena kurang pengawasan saja baik orang tua maupun lingkungan sekitar. Selaku orang tua kuatir pasti kuatir tergantung pola asuh dan pengawasan kita terhadap anak-anak apalagi saat saat di lingkungan luar,” ungkapnya. (*/veg/tim)